Rabu, 17 April 2019

Stigma Otaku yang (Tidak Selamanya) Buruk


Otaku. Sekelompok orang yang terobsesi dengan hobi mereka. Dalam konteks yang sempit, Otaku merupakan sekelompok yang suka dengan anime dan manga. Namun, dalam konteks yang lebih luas, Otaku bukan cuma sekedar sekedar penyuka animanga saja. Otaku juga merujuk pada orang memiliki kecenderungan pada suatu hobi seperti Cosplay, Kereta Api, Game, dan Idol.

Bagi masyarakat pada umumnya, khususnya Jepang, otaku dianggap sebagai manusia aneh, unik, lucu, gak keren, atau lebih rendahnya lagi, sampah masyarakat. Kok bisa? Mari kita kembali ke akhir 1980-an dan awal 1990-an, lebih tepatnya 1989.

Seorang pria bernama Tsutomu Miyazaki (1962-2006) dikenal sebagai "The Otaku Murderer" karena dia merupakan seorang Otaku yang bertanggung jawab atas kematian 4 anak perempuan yang ia bunuh secara sadis karena dipengaruhi oleh anime, video porno, dan komik yang ia koleksi.
Tsutomu si biang kerok jatuhnya pamor otaku
Tsutomu lahir di Itsukaichi, Tokyo pada tanggal 21 Agustus 1962. Tsutomu lahir dengan kondisi prematur yang membuat tangannya lahir cacat. Tangannya menjadi satu dengan pergelangannya sehingga ia terpaksa harus menggerakan lengan bawahnya untuk memutar tangannya. Keadaan itulah yang membuat ia di-bully oleh teman sekelasnya. Sungguh masa kecil yang ngenes.. Dan masa kecil inilah yang akan mempengaruhi mentalnya di masa depan.

Pada tahun 1988, ia menghabiskan waktu dengan membaca manga khususnya manga horor, terutama setelah kakeknya meninggal dunia pada Mei 1988. Waktu itu, Tsutomu sedang mengalami depresi berat setelah ditinggal mati oleh kakeknya yang waktu itu hanya satu-satunya anggota keluarganya yang ia cintai. Sisanya (Bapaknya, Emaknya, dan Mbaknya) membencinya. Sehingga Tsutomu memilih membaca komik dan film horor sebagai pelarian. Pada tahun 1989, setelah menyerang kakak dan emaknya, ia mulai menculik dan membunuh gadis-gadis muda yang kebanyakan merupakan gadis dibawah umur demi memuaskan hawa nafsunya. Sejak Agustus 1988 sampai Juni 1989, ia membunuh hingga empat anak. Dalam aksinya, Tsutomu pernah meminum darah korbannya, memakan bagian tubuh korban, dan juga pernah bercinta dengan mayat yang ia bunuh. Yikes! Membayangkannya aja membuat TS muntah karena jijik!!

Aksi kejamnya Tsutomu berhenti saat ia ditangkap oleh aparat keamanan alias kepolisian saat ia mencoba untuk menculik dan membunuh korban kelimanya namum digagalkan oleh bapak korban. Setelah ditangkap dan rumahnya diselidiki, kepolisisan menemukan sesuatu yang amat mengejutkan lagi disturbing. Di rumahnya, polisi menemukan buku-buku komik, porno, Film Horor, dan Anime-anime Guro.

Karena itu, Tsutomu dijuluki "The Otaku Murderer" alias "Si Otaku Pembunuh" dan sejak saat itu, anime dan manga dikambing hitamkan sebagai biang kejahatan dan kriminal. Dan pamor otaku semakin merosot ketika media massa menyebarkan pandangan negatif mengenai Otaku. Sehingga, apabila orang biasa ngelihat orang meluk-meluk dakimakura bergambar waifu mereka di tempat-tempapt umum, dan atau orang berkeliaran menenteng merchandise anime di jalan dengan penuh semangat, otaku mendapat pandangan yang aneh dan jijik dari masyarakat sekitar.
Kira-kira begitulah reaksi orang lain saat ngeliat elu bawa dakimakura bergambar waifu-mu ke jalan.
Bagus banget bajunya, masbroh. Beli di mana? Di Pasar Turi?
Admin teringat dengan insiden yang terjadi di Masjid Christchurch, Selandia Baru, bulan Maret lalu yang membuat game mobile PUBG/Player Unknown Battle Ground menuai pro kontra di Indonesia khususnya dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang menganggap bahwa game tersebut haram. Padahal, pelakunya, Brenton Tarrant, bukan gamer dan gak terinspirasi sama game yang sedang booming ini. Beda dengan abang Tsutomu yang emang terinspirasi dari apa yang ia tonton (Anime dan video porno).

Kembali ke topik masalah. Otaku gak selamanya dipandang buruk. Seorang penulis Hiroki Azuma, dalam bukunya, Otaku, mengamati bahwa antara tahun 2001 dan 2007, bentuk dan pemasaran otaku dengan cepat memenangkan pengakuan sosial. Hal tersebut dibuktikan pada tahun 20003, Animator Hayao Miyazaki dan karyanya, Spirited Away, memenangkan Academy Award dan  Takashi Murakami memperoleh pengakuan untuk desain otaku-like-nya pada waktu yang sama. Pada tahun 2005, kata moe, salah satu kata kunci dari volume ini, terpilih dalam sepuluh teratas "Buzzwords of the year". Seorang mantan perdana menteri Jepang, Taro Aso, ternyata pernah menjadi otaku dengan menggunakan sub kultur untuk mempromosikan Jepang di luar negeri. Pada tahun 2013, Studi masyarakat jepang terhadap +137.000  orang menemukan bahwa 42,2% mengidentifikasi diri mereka sebagai otaku.

Bahkan, Otaku juga memberikan keuntungan baik dari sisi sosial bagi masyarakat di luar Jepang dan juga ekonomi. Ini terlihat dalam semakin menjamurnya event-event jejepangan diselenggarakan di berbagai macam belahan dunia seperti Anime Festival Asia. Di Indonesia sendiri, berbagai macam komunitas-komunitas jejepangan dan juga otaku mulai bertebaran dan menjamurnya event-event otaku yang diselenggarakan mulai di kampus-kampus hingga di mal-mal.

Terlepas dari pro-kontra otaku di masyarakat Jepang dan di luar negeri, kita semestinya juga sadar bahwa kita juga tetap menjaga perilaku jejepangan kita di masyarakat luas agar kita menjaga perilaku kita sebagai otaku dan penggemar jejepangan di masyarakat luas dan jangan sampai hobi kita menjadi obsesi berlebihan sehingga merugikan diri sendiri dan orang lain. Kita gak mau kan kejadian seperti Tsutomu Miyazaki-san terulang lagi di Indonesia?

Sumber referensi:
Otaku @ Wikipedia English
Ketika Otaku Dipandang Hina @ Risamedia
Otaku di kehidupan nyata: sampah masyarakat? @ Fujotaku's Diary

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon komentarnya ya....